BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Wanita,
dari remaja sampai wanita usia sekitar 40-an, menggunakan masa hamil 9 bulan
untuk beradaptasi terhadap peran sebagai ibu. Adaptasi ini merupakan proses
social dan kognitif kompleks yang bukan didasarkan pada naluri, tetapi
dipelajari ( Rubin, 1967a; Affonso dan Sheptak, 1989). Untuk menjadi seorang
ibu, seorang remaja harus beradaptasi dari kebiasaan dirawat ibu menjadi
seorang ibu yang melakukan perawatan.Sebaliknya, seorang dewasa harus mengubah
“kehidupan rutin yang dirasa mentap menjadi suatu kehidupan yang tidak dapat
diprediksi, yang diciptakan seorang bayi (Mercer, 1981).Nulipara, atau wanita
tanpa anak, dan multipara, wanita yang memiliki anak, menjadi wanita yang
memiliki anak-anak (Lederman, 1984).
Sifat keibuan merupakan sifat yang
lazim dimiliki seorang wanit, sifat tersebut mendorong seorang wanita untuk
bersikap lemah lembut, penuh kasih saying dan ketulusan, tapi dari kesemuanya
itu tidak menutup kemungkinan seorang wanita/ibu tidak memiliki sifat
keibuan. Walaupun berpredikat sebagai ibu, mereka tak memahami arti
penting dan indahnya sifat- sifat keibuan, seperti sabar, melindungi, kasih
sayang, ketulusan dalam memberi, kesetiaan total, tetapi tanpa pernah merasa
kehilangan dirinya saat mencintai orang lain.
B. Tujuan
Penulisan
Adapunmakalahini
kami susundengantujuansebagaiberikut:
1.
UntukmemenuhitugasmatakuliahPsikologi
2.
Untukmenambahpengetahuantentangpengertian
wanita sebagai ibu, peran dan fungsi wanita sebagai ibu, sifat keibuan, relasi
ibu dan anak, ibu tiri dan ibu angkat.
BAB
II
TINJAUAN TEORI
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Wanita sebagai Ibu
Asal kata “wanita” (bhs. Inggris
:woman) adalah : vani atau vanitai/ Desire (bhs.
Sansekerta) dalam bahasa Indonesia diartikan “keinginan”. Jadi
wanita mengandung makna sesuatu yang selalu diinginkan. Arti konotasi dari kata
ini ialah wanita sebagai objek seks, selalu diinginkan (Sanskrit – English
Dictionary ; Sir Monier Williams, Delhi Varanasi, Motilal Banarsidas, 1981).
Menurut definisi dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, perempuan adalah
orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak
dan menyusui. Sedangkan wanita adalah perempuan yang berusia dewasa atau
dapat dikatakan wanita adalah menggambarkan perempuan dewasa. Wanita juga sebutan yang digunakan
untuk spesies manusia berjenis kelamin betina. Sedang lawan jenisnya adalah pria. Dapat kita simpulkan bahwa wanita
adalah perempuan dewasa berjenis kelamin betina lawan jenis pria yang memiliki
konotasi sebagai objeks seks kaum pria. Itu sebabnya gerakan perjuangan
perempuan tidak memakai istilah wanita tetapi sebagai gerakan perempuan. Tetapi di sini kita mendefenisikan
wanita adalah sebagai perempuan dewasa yang menitik beratkan kepada sifat
ke-ibu-an secara fungsional dalam tanggungjawabnya.
Istilah ibu berasal dari kata “empu”
(bhs.Sansekerta) artinya yang mulia, dihormati, membimbing, mengasuh. Ibu juga dapat dikatakan wanita yang
telah melahirkan seseorang; sebutan sebutan untuk wanita yg sudah bersuami; dan
juga panggilan yg lazim kepada wanita baik yang sudah bersuami maupun yang
belum.Sedang dalam kata sifat ke-ibua-an adalah lemah lembut, penuh kasih
sayang, dsb); dan biasanya sifat perasaan lebih cepat tumbuh pada anak
perempuan. Ibu adalah orang tua perempuan seorang anak, baik melalui
hubungan biologis maupun sosial. Umumnya, ibu memiliki peranan yang
sangat penting dalam membesarkan anak, dan panggilan ibu dapat diberikan untuk
perempuan yang bukan orang tua kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi
peranan ini.Contohnya adalah pada orang tua angkat (karena adopsi) atau ibu
tiri (istri ayah biologis anak).Dapat kita simpulkan bahwa ibu adalah perempuan
dewasa yang lebih menonjol pada sifatnya sebagai yang mulia, dihormati,
membimbing, mengasuh.Atau dapat dikatakan sebagai guru, penuntun yang penuh
kasih sayang dan perawat walaupun tidak semata-mata dibatasi oleh hubungan
biologis.
B. Karakteristik
/Ciri-ciri Wanita sebagai Ibu
1. Peran
ibu dalam keluarga.
a. Memenuhi
kebutuhan fisiologi dan psikis
Sering
dikatakanbahwa ibu adalah jantung dari keluarga. Jantung dalam tubuh merupakan
alat yang sangat penting penting bagi
kehidupan seseorang.apabila jantung berhenti berdenyut,maka orang tersebut
tidak dapat melangsungkan hidupnya. Dari perumpamaan ini dapat disimpulkan
bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk
melakasanakan kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak
kelahiran anaknya, dia harus memberiikan susu agar anak itu bisa melangsungkan
hidupnya. Mula-mula ibu menjadi pusat logistik ,memenuhi kebutuhan fisik,
fisiologis,agar ia dapat meneruskan hidupnya. Baru sesudahnya terluhat bahwa
ibu juga harus memenuh kebutuhn-kebutuhan lainnya, kebutuhan sosial, kebutuhan
psikis, yang bila tidak dipenuhi bisa mengakibatkan suasana keluarga menjadi
tidak optimal. Sebagai dasar suasana keluarga,ibu perlu menyadari perannya :
memenuhi kebutuhan anak.
Dalam
memberikan susu pada sang bayi juga perlu memperhatikan caranya. Demikian pula
cara menyuapi anak kecil sudah biasa menimbulkan macam-macam hambatan bila
dilakukan dengan tidak sabar. Rasa aman pertama sudah dimlai sejak masa bayi.
b. Peran
dalam merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra,dan konsisten.
Ibu
mempertahankan hubungan-hubungan dalam keluarga.Ibu menciptakan suasana yang
mendukung kelancaran perkembangan anak dan semua kelangsungan keberadaan unsur
keluarga lainnya. Seorang ibu yang sabar
menanamkan sikao-sikap, kebiasaan pada anak, tidak panik dalam menghadapi
gejolak di dalam maupun di luar diri anak, akan memberi kemudahan bagi anak dan
keluarganya tidak boleh dipengaruhi olrh emosi atau keadaan yang berubah-ubah.
Misalnya
bila sedang memberi makan pada anak kecil , lalu ada tamu datang, sehingga emosi ibu berubah,lalu anakdikesampingkan
dengan keras. Ini bisa berakibat anak tidak senang bila ada teman.
c. Peran
ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak.
Ibu
juga berperan dalam mendidik anak dan mengembangkan kepribadiannya.Pendidikan
juga menuntut ketegasan dan kepastian dalam melaksanakannya. Biasanya seorang
ibu sudah lelah dari pekerjaan rumah tangga setiap hari, sehingga dalam keadaan
tertentu, situasi tertentu, cara mendidiknya dipengaruhi oleh emosi. Mislnya
suatu kebiasaan yang seharusnya dilakukan oleh anak, anak tidak perlu
melakukannya, bila ibu dalm keadaan senang. Sebaliknya bila ibu sedang lelah,
maka apa yang harus dilakukan anak disertai bentakkan-bentakan. Contoh lain
bisa dilihat dalam pembentukan keteraturan belajar. Bila anak dibiasakan untuk
belajar setiap sore mulai pukul 16.00 , tetapi ibu yang sedang mendampingi
anaknya belajar kedatangan tamu, acara belajar itu dibatalkan. Perubahan arah
pendidikan tersebut diatas akhirnya akan menyebabkan anak tidak mempunyai
pegangan yang pasti, tidak ada pengarahanperilaku yang tetap dan tidak ada
kepastian perilaku yang benar atau salah. Ibu dalam memberikan ajaran dan
pendidikan harus konsisten, tidak boleh
berubah-ubah.
d. Peran
ibu sebagai contoh dan teladan
Dalam
mengembangkan kepribadian dan membentuk sikap-sikap anak, seorang ibu perlu
memberikan contoh dan teladan yang dapat diterima. Dalam pengembangan
kepribadian, anak belajar melalui peniruan terhadap orang lain. Sering kali
tanpa disadari, orang dewasa memberi contoh dan teladan yang sebenarnya justru
tidak diinginkan.
Misalnya
: orang dewasa di depan anak mencritakan suatu cerita yang tidak sesuai, tidak
jujur. Anak melihat ketidaksesuaian tersebut. Maka tidak bisa diharapkan bahwa
anjuran untuk berbicara jujur akan dilakukan, bila anak disekitarnya selalu
melihat dan mendengar perintah-perintah diiringi dengan suara keras dan
bentakan, tidak bisa diharapkan untuk bicara dengan lemah lembut .karena itu
dalam menanamkan kelembutan, sikap ramah, anak membutuhkan contoh dari ibu yang
lembut dan ramah.
e. Ibu
sebagai manajer yang bijaksana.
Seorang
ibu menjadi manager rumah.Ibu mengatur kelancaran rumah tangga dan menanamkan
rasa tanggung jawab padda anak. Anak pada usia dini sebaiknya sudah mengenal
adanya peraturan-peraturan yang harus diikuti. Adanya disiplin di dalam
keluarga akan memudahkan pergaulan di masyarakat kelak.
f. Ibu
memberi rangsangan dan pelajaran.
Seorang
ibu juga memberi rangsangan sosial perkembangan anak.Sejak masa bayi pendekatan
ibu dan percakapan dengan ibu memberi rangsangan bagi perkembangan anak,
kemampuan bicara dan pengetahuan lainnya.Setelah anak masuk sekolah, ibu
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan agar anak senang belajar di
rumah, membuat P.R. di rumah. Anak akan belajar dengan lebih giat bila merasa
enak daripada bila disuruh belajar dengan bentakan .gengan didampingi ibu yang
penuh kassih sayang akan memberi rasa aman yang diperlukan setiap anggota
keluarga. Agar ibu dapat melaksanakan tugas dengan baik, dukungan dan dorongan
ayah sangat dibutuhkan .disamping ibu sebagai
jantung, harus ada ayah sebagai otak dalam keluarga, kepala ke
terdesakluarga dan berperan utama dalam menciptakan suasana keluarga.
g. Peran
ibu sebagai istri.
Biasanya
bila suatu keluarga sudah bertambah
banyak, dengan adanya kelahiran anak yang baru maka peran ibu sebagai istri
mulai terdesak. Kesibukan ibu merawat dan membesarkan anak , menguras tenaga
dan menghabiskan waktu, pagi, siang, malam, sehingga tidak ada waktu untuk
suami. Seorang suami yang penuh yang penuh pengertian akan turut mengambil
bagian dalam tugas-tugas istri sebagai ibu. Partisipasi suami dalam tugas
merawat, memelihara, dan mendidik anak diharapkan bisa mempererat hubungan ayah
dan ibu. Tanpa pengertian suami, semuanya akan sia-sia. Ibu yang berfungsi
sebagai istribagi suaminya perlu menyediakan waktu untuk konsolidasi,
menciptakan keakraban, kemesraan, dan kesatuan yang akan memberikan tenaga baru
untuk melaksanakan tugas-tugas lainnya dalam menciptakan suasana keluarga. Ibu
sebaiknya membagi waktu sedemikian rupa sehingga ada waktu khusus untuk
rekreasi bersama suami. Rekreasi dengan pengertian menciptakan kembali suasana keluarga yang baik dengan memperkuat
ikatan suami istri. Maka jelaslah bahwa dalam menciptakan suasana keluarga dan
hubungan antar anggota keluarga,peran suami sebagai kepala keluarga perlu
diperhatikan.
Proses
mengidentifikasi peran ibu dimulai pada awal setuap kehidupan sorang wanita,
yakni melalui memori- memori ketika ia sebagai seorang nak diasuh oleh
ibunya. Persepsi kelompok sosialnya
mengenai peran feminim juga membuatnya condong memilih peran sebagai ibu atau
wanita karir, menikah, atau tidak menikah, dan mandiri daripada independen.
Peran- peran batu loncatan , seperti bermain dengan boneka, menjaga bayi dan
menjaga adik- adik , dapat meningkatkan pemahaman tentang arti menjadi seorang
ibu.
Banyak
wanita selalu menginginkan seorang bayi , menyukai anak-anak , dan menanti
untuk menjadi seorang ibu. Mereka sangat dimotivasi untuk menjadi orang tua.
Hal ini mempengaruhi peneriaan mereka teradap kehamilan dan akhirnya terhadap
adaptasi prenatal dan adaptasi menjadi
orangtua. Konflik selama masa hamil , seperti tidak menginginkan kehamilan dan
keputusan- keputusan yang berkaitan dengan karir dan anak, harus diselesaikan.
Seorang ibu pasti akan merasa senang
dan bangga bila berhasil menjadi idola bagi anaknya. Bagaimana tidak, karena
sebagai idola berarti tokoh ibu menjadi sosok yang disenangi atau
dicita-citakan oleh anak.Sebagai sosok idola maka karakter ibu menjadi suatu
hal yang melekat dalam jiwa anak dan sangat berpengaruh atau berperan dalam
kehidupan anak. Dengan menjadi idola, seorang ibu akan lebih mudah untuk
mengarahkan anaknya, sekaligus juga sebagai suri tauladan bagi sang anak guna
pengembangan potensi-potensinya di kemudian hari. Sosok ibu yang secara
kodrati "dekat" dengan anak - karena telah melahirkan, merawat dan
menyusui anaknya - ternyata tidak secara otomatis bisa menjadi tokoh idola
anak.Penyebab utamanya biasanya terletak pada kurangnya ketrampilan dan wawasan
pengetahuan ibu dalam mengurus dan membesarkan anak. Adanya perbedaan karakter
tiap anak, perbedaan usia dan tahapan perkembangan anak serta perbedaan zaman
menuntut adanya wawasan pengetahuan yang luas, kesediaan diri untuk terus
memperbaiki diri, kreativitas serta ketrampilan seorang ibu dalam memberikan
pengasuhan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Untuk menjadi ibu yang diidolakan
anak, memerlukan proses berkesinambungan yang dilandasi oleh kemauan serta
kasih sayang yang besar. Oleh karena itu peranan Ibu terhadap anak-anaknya di
rumah sebagai pendidik dan pengayom pertama sebelum masuk pendidikan formal,
yang sangat berarti dalam perkembangan dan pertumbuhan segala potensi anak.
Seorang ibu yang mampu memberikan pendidikan awal (basic education)
yang benar yaitu pendidikan moral (moral education) dan
pendidikan pengembangan potensi pikir dan kreativitas sejak dalam lingkungan
keluarganya, maka anak tersebut akan cepat menyesuaikan kondisi di luar
lingkungan keluarganya dan mampu melakukan penajaman dan pencerahan pemikiran
secara cepat. Terlebih seorang anak yang dibekali pendidikan moral (akhlak)
sejak kecil oleh orang tuanya terutama ibu yang banyak waktu bersamanya, anak
tersebut tidak cepat terpengaruh dan terjerumus dalam pergaulan bebas yang
kontroversial dengan norma-norma yang telah ada maupun ajaran agama.
Anak akan selalu teringat dengan
pesan-pesan moral yang baik sepanjang hidupnya. Bobroknya moral yang dialami
oleh seorang anak karena krisis moral, tidak mampu melakukam penyaringan budaya
yang tidak membangun.Banyak anak yang kita temukan secara materi tercukupi
tetapi gersang dengan kasih sayang dan pendidikan moral. Sehingga batin mereka
kosong, dengan mudahnya akan terisi dengan ajakan pergaulan bebas, pecandu
narkotika dan putus sekolah karena tak ada lagi gairah belajar.
Seorang anak akan bergerak sesuai
dengan zamannya sehingga pendidikan moral sangat signifikan sebagai bekal
melawan pengaruh negatif dari luar. Optimalisasi fungsi control orang tua juga
sangat diharapkan sampai anak-anak mampu mambawa dirinya dan tidak larut dalam
kondisi secanggih apapun. Dengan demikian seorang ibu wajib memiliki kecukupan
ilmu pengetahuan untuk dapat mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan dan serta
suri tauladan yang baik di hadapan anak-anaknya.Perilaku dan kebijakan seorang
ibu sangat tergantung pada tingkat pendidikan dan pengalamannya.Zaman dengan
secepat mungkin dapat berubah sehingga menuntut seorang ibu yang tanggap dan
cerdas dalam menuntun anak-anaknya, sehingga krisis moralitas bangsa dapat
teratasi.
Para remaja tidak lagi terjerumus
dalam kehidupan yang glamor, tetapi mereka akan berkembang menjadi anak-anak
yang cerdas dan kreatif serta taat dan patuh terhadap Sang Pencipta. Berikut
ini ada beberapa tips yang dapat ibu-ibu lakukan :
1.
Selalu berusaha mendekatkan diri pada anak dengan selalu
menjalin interaksi dan komunikasi yang positif dan akrab dengan anak. Misalnya
berbincang-bincang bersama mengenai hal-hal yang dialami anak di sekolah pada
hari itu, di mana ibu sekaligus bisa menggunakan momen tersebut untuk
menyelipkan pesan moral di dalamnya.
2.
Tanggap dan sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan fisik anak
yang dirasa penting - tanpa diminta anak - namun tetap harus disesuaikan dengan
kemampuan keuangan yang ada. Misalnya saja mengganti kaos kaki anak yang sudah
kendur, mengupayakan asupan makanan yang bergizi namun disukai anak, melengkapi
peralatan sekolah anak, dsbnya. Dengan cara ini, anak merasa sangat
"istimewa" diperlakukan demikian sehingga merasa nyaman dan bangga
memiliki ibu.
3.
Menampilkan sifat-sifat khas seorang ibu, yang telah
dianugrahkan Tuhan seperti sifat "keibuan", lemah lembut dan
mengayomi sehingga kebutuhan psikologis anak seperti rasa aman, nyaman dan
kasih sayang dapat terpenuhi. Kemampuan ibu untuk memenuhi kebutuhan psikologis
anak, di samping kebutuhan fisiknya, membuat ibu menjadi sosok yang sangat
dibutuhkan, dikagumi sekaligus disenangi anak.
4.
Menyediakan waktu untuk bersama-sama anak menikmati berbagai
aktivitas yang menyenangkan anak, seperti bermain di lingkungan rumah, rekreasi
ke pantai, dan sebagainya. Kebersamaan yang terjalin akrab akan membuat anak
bahagia dan merasakan bahwa kehadiran ibu merupakan sosok yang menyenangkan
baginya.
5.
Bersedia menjadi tempat "curhat" bagi anak.
Menjadi pendengar yang baik bagi anak sehingga anak bisa bebas mengekspresikan
perasaan-perasaannya. Pahami pola fikir anak sesuai dengan tahapan usianya,
berusaha untuk empati dan menerima anak apa adanya, menghindari kritikan yang
berlebihan, celaan atau sesuatu yang membuat anak merasa tak nyaman, terancam,
terpojok dan selalu disalahkan.
6.
Memperluas wawasan pengetahuan dan ketrampilan dalam
pengasuhan anak, misalnya melalui membaca buku, ikut seminar tentang pengasuhan
anak, konsultasi dengan para ahli yang berpengalaman dalam pengasuhan anak atau
dengan ibu-ibu yang dianggap telah berhasil menjadi tokoh idola bagi anaknya,
dsb. Dengan bertambahnya wawasan dan informasi, diharapkan akan membimbing ibu
untuk mampu bertindak bijaksana, berfikir kreatif dalam menghadapi
masalah-masalah yang muncul dan mampu memberikan yang terbaik bagi anaknya,
sehingga anak benar-benar merasakan manfaat adanya ibu, misalnya ibu bisa
menjadi sumber inspirasi dan pemberi semangat bagi anak.
7.
Bersedia untuk introspeksi atau terus memperbaiki diri agar
tercipta kedekatan dengan anak. Hindari sikap merasa paling benar dan tidak
peduli terhadap pendapat atau kritikan anak karena hal ini justru akan membuat
ibu "jauh" dari anak.
8.
Tidak biarkan anak terlalu banyak menghabiskan waktu untuk
hal-hal yang dapat memperkecil kesempatan ibu menjalin interaksi dengan anak
dan menanamkan nilai-nilai yang baik bagi anak. Misalnya dengan tidak
membiarkan anak menonton TV terlalu lama tanpa didampingi ibu, bermain games
komputer terus menerus, dsb.
2.
Sifat Keibuan
Sifat keibuan merupakan sifat yang
lazim dimiliki seorang wanita, sifat tersebut mendorong seorang wanita untuk bersikap
lemah lembut,
penuh kasih saying dan ketulusan, tapi dari kesemuanya itu tidak menutup
kemungkinan seorang wanita/ibu tidak memiliki sifat keibuan. Walaupun
berpredikat sebagai ibu, mereka tak memahami arti penting dan indahnya sifat-
sifat keibuan, seperti sabar, melindungi, kasih sayang, ketulusan dalam
memberi, kesetiaan total, tetapi tanpa pernah merasa kehilangan dirinya saat
mencintai orang lain.
Orang modern tak sedikit yang
gelisah dan mencari sifat-sifat tersebut, namun kebanyakan gagal.Karena
keputusasaan, kemudian muncul alkoholisme, ketagihan narkoba, kompulsi
seksualitas, dan bunuh diri. Kasus bunuh diri seorang ibu telah
menggambarkan dengan jelas bagaimana seorang ibu telah terlampau banyak
kehilangan sifat-sifat keibuan, sampai tak sadar bahwa dirinya masih banyak
dibutuhkan keluarga dalam kehidupan yang kian makin rumit seturut perkembangan zaman.
Menumbuhkan sifat-sifat keibuan
memang bukan suatu hal yang mudah, apalagi bagi kaum ibu yang sedang dilanda
kemiskinan.Padahal, sifat-sifat keibuan melahirkan sikap konstruktif, yang amat
dibutuhkan setiap orang yang ingin membebaskan dirinya dari belenggu
kemiskinan. Jika seorang ibu memiliki sifat-sifat keibuan dan mampu
mengimplementasikannya dalam hidup keseharian, maka cepat atau lambat, juga
mampu membebaskan diri dari kemiskinan karena sifat-sifat keibuan memang
mengarah pada pembentukan sikap mental (mental attitude) yang positif,
konstruktif, dan produktif.
Sikap mental positif tersebut jelas
berpotensi untuk meraih kesuksesan yang sesuai dengan minat, bakat, dan
kemampuan seseorang. Dengan sifat-sifat keibuannya, seorang ibu bukan hanya
mampu memotivasi diri untuk hidup sukses dan bahagia, bahkan ia juga mampu
memotivasi putra-putrinya agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi dirinya
sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Seseorang dengan
sifat-sifat keibuan sudah tentu memiliki sikap mental agar kesuksesan dan
kebahagiaan dirinya juga dapat dialami atau bahkan dikembangkan orang lain,
termasuk oleh putra-putrinya sendiri, dan sikap mental ini merupakan indikasi
kecerdasan emosi yang belum tentu dimiliki oleh seseorang yang ber-IQ tinggi.
Sifat-sifat keibuanlah yang mampu memotivasi seorang ibu sebagai pendidik
sekaligus pengajar anak-anaknya. Bahkan, Dr Zakiah Daradjat, seorang ibu yang
juga psikolog, mengatakan bahwa pendidikan anak sudah berlangsung sejak ia
masih dalam kandungan. Implementasi sifat keibuan di sini adalah seorang istri
yang hamil perlu berkomunikasi dengan jabang bayi sebelum ia dilahirkan.
Karena, menurut hasil riset, sejak bayi dalam kandungan berumur tiga bulan
secara psikis sudah memberikan respons terhadap pembicaraan maupun sikap ibu
kandung yang ditujukan kepadanya.
Sifat-sifat keibuan ternyata mampu
mencetuskan EQ seseorang. Kecerdasan emosi ini telah dibuktikan para ahli dalam
risetnya sebagai faktor kepribadian yang lebih menentukan kesuksesan dibandingkan
dengan kecerdasan otak (IQ = intelligence quotient) seseorang. Sebuah
iklan susu untuk balita juga menunjukkan kehebatan anak dengan kriteria bisa
menghitung perkalian, bukan kemampuan dia bersosialisasi dengan lingkungannya.
Ibu-ibu akan sangat bangga saat anaknya menjadi juara kelas, meski untuk
mencapai prestasi itu ia harus belajar nonstop tanpa punya waktu untuk membantu
orangtuanya menyapu, mencuci piring, dan sebagainya. Akibatnya, di dalam diri
sang anak mulai tertanam anggapan bahwa prestasi publik lebih membanggakan
daripada prestasi domestik, inteligensi kognitif lebih berharga daripada
inteligensi emosional dan sosial.
C. Proses Perubahan Fisik Wanita
sebagai Ibu
Penyesuaian terhadap peran orang tua
merupakan salah satu peristiwa kehidupan yang paling membuat stress. Sedangkan
kehamilan sendiri ditempatkan pada urutan ke 12 dari kehidupan yang paling
membuat stress (Henderson, 2005: 108).
Rasa khawatir dan ansietas dalam
kehamilan relatif umum terjadi, karena pada kenyataannya ansietas dalam tingkat
tertentu dapat berperan sebagai faktor motivasi dalam mempersiapkan peran
menjadi orang tua. (Henderson, 2005: 110).
Tahap – tahap psikososial yang biasa
dilalui oleh calon ibu dalam mencapai perannya:
a. Anticipatory stage
Seorang ibu mulai melakikan latihan peran dan memerlukan
interaksi dengan anak yang lain
b. Honeymoon stage
Ibu mulai memahami peran dasar yang dijalaninya. Pada tahap
ini ibu memerlukan bantuan dari anggota keluarga lain.
c. Pleteu stage
Ibu akan mencoba apakah mampu berperan sebagai ibu. Tahap
ini memerlukan waktu sampai ibu kemudian melanjutkan sendiri.
d. Disengagement
Merupakan tahap penyelesaian yang mana latihan peran sudah
berakhir
Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kemampuan respon dan emosional dalam beradaptasi diantaranya :
a. Direncanakan atau tidak direncanakan
Kehamilan yang tidak direncanakan
cenderung menyebabkan peningkatan stress walaupun pada akhirnya stress tersebut
akan berkurang seiring perjalanan waktu pada sebagian besar wanita yang
kehamilannya tidak direncanakan relatif berlangsung secara efektif sehingga
akhirnya mampu menyesuaikan diri dengan bayinya dan mengalami sedikit gangguan
psikologis.
b. Efek beberapa faktor obstetri
Pengalaman yang terkait dengan
komplikasi kehamilan, seperti hipertensi, kehamilan multipel, hemoragi
antepartum dan lain-lain cenderung meningkatkan ansietas selama
kehamilan.Kekhawatiran dan ansietas akibat medis yang dialami, sering kali
berfokus pada masalah apakah medikasi dapat mempengaruhi bayi.
c. Ansietas dan usia
Menurut (Spirito, 1992) dikutip oleh
Henderson bahwa wanita yang lebih muda dan wanita yang tidak menikah lebih
cenderung beresiko mengalami peningkatan distress emosional.Beberapa unsur yang
diidentifikasi memiliki berbagai efek tentang bagaimana wanita menyesuaikan
diri terhadap kehamilan ialah isu tingkat pendidikan dan pekerjaan, keamanan
finansial, tingkat pendukung sosial dam faktor sosial lainnya, serta tipe
perawatan maternitas diterima.
Pada sebuah penelitian juga
dilaporkan bahwa wanita berusia lebih dari 35 tahun melaporkan lebih sedikit
gejala somatik dan mempunyai persepsi yang lebih positif terhadap tubuh mereka
daripada wanita yang berusia lebih muda pada kehamilan tahap lanjut.
d. Penggunaan dan penyalahgunaan obat
Wanita perokok atau alkoholik dan
ketergantungan obat dalam masa kehamilan, dapat mengalami peningkatan ansietas
tentang bayi yang sedang berkembang, dikarenakan dia menyadari masalah yang
mungkin muncul dan merasa sangat bersalah serta mengalami pergolakan emosional
selama kehamilan. Selain itu, wanita hamil yang tergantung pada obat–obatan
atau alkohol mungkin merasa takut akan kemungkinan intervensi yang dilakukan
lembaga, seperti pelayanan sosial, mengintervensi masalahnya dan mungkin bayi
mereka harus dirawat yang bahkan pada gilirannya membuat mereka mengalami lebih
banyak tekanan emosi. (Henderson, 2005).
e. Citra perubahan tubuh
Beberapa penelitian menekankan bahwa
banyak wanita tidak puas dengan citra tubuh mereka selama hamil. Perubahan
tubuh selama kehamilan dapat membuat beberapa wanita mengalami "perubahan
citra tubuh" yang bisa dikatakan sebagai suatu keadaan distres personal
yang diidentifikasikan oleh individu yang mengidentifikasi bahwa tubuh mereka
tidak lagi mendukung harga diri dan yang disfungsional, membatasi interaksi
sosial mereka dengan orang lain, menyatakan bahwa bagi sebagian besar wanita
kehamilan tidak menyebabkan perubahan citra tubuh karena kehamilan itu relatif
bersifat sementara.
Perasaan bahwa diri mereka menarik
atau memiliki citra tubuh positif diperlukan untuk mempertahankan kepercayaan
dan harga diri.Sebaliknya citra tubuh negatif dapat menciptakan citra diri
negatif, yang pada akhirnya dapat menyebabkan masalah atau gangguan psikologis
jangka panjang.Citra ideal meliputi semua ide yang dimiliki ibu tentang
karakteristik positif dan aktifitas wanita yang menjadi ibu.(Henderson, 2005:
111- 117).
Identitas maternal dicapai melalui
proses aktifitas taking-in, aktivitas taking-on, dan aktivitas letting-go.
f. Aktivitas taking-on: meniru
(mimicry) dan bermain peran (role play)
Mimicry adalah meniru perbuatan /
sikap orang lain yang menjadi model baginya( missal wanita yang sedang hamil)
dan belajar dari berbagai sumber tentang hal-hal yang akan dihadapinya nanti(
bagaimana kehamilan,melahirkan dan merawat bayi) yang disukai akan diadopsi dan
yang tidak disukai akan dihindari.
Role play adalah si calon ibu akan
berbuat sesuatu yang nantinya akan diterapkan untuk diri sendiri, misalnya
mencoba mengendong, menyuapi, memakaikan popok, dan jua membyangkan dia merawat
bayinya.
g. Aktivitas taking-in: fantasi dan
introjeksi-proyeksi-rejeksi
Fantasi adalah seorang wnita
membayangkan dirinya nanti saat melahirkan, hubungan dengan suami serta
keluarga setelah persalinan dan bagaimana dia berperilaku.
Introjeksi,proyeksi dan rejeksi
merupakan proses aktif dimana wanita membandingkan model dengan sudut
pandangnya sendiri dan mengambil keputusan tentang adopsi atau rejeksi suatu
model.
h. Aktivitas letting-go: grif-work
Mereview, mengingat kembali hal-hal
yang berhubungan dengan peran diri sebelumnya melepas peran yang tidak lagi
sesuai atau tidak memungkinkan lagi sesuai atau tidak mungkin lagi
dilakukan.(Salmah,2008:92)
D. Keadaan dan Perubahan Psikologi
Seoarang wanita yang baru pertama kali memiliki seorang anak tentu dia
masih perlu belajar banyak agar menjadi sesosok ibu yang dapat menuntun dan
membimbing anaknya agar menjadi seorang anak yang berbudi pekerti luhur. Ibu
berusaha untuk menjadi orang tua yang terbaik bagi anaknya, agar anaknya bisa
terbimbing dan terarah pergaulannya. Ibu akan berusaha menghilangkan
sifat-sifat atau perilaku dalam dirinya yang buruk agar anaknya bisa memandang
sesosok ibunya itu sebagai orang tua yang paling sempurna. Seorang ibu berusaha
untuk memberikan semua kasih sayangnya kepada anaknya agar anak tersebut tidak
merasa bahwa dirinya itu tidak diharapkan.
E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perubahan Psikologi
1. Relasi
Ibu dan Anak
Ikatan
emosional dengan anak mulai timbul pada periode prenatal, yakni ketika wanita
mulai membayangan dan melamunkan dirinya menjadi ibu. Mereka mulai berfikir
seakan-akan dirinya adalah seorang ibu dan membayangkan kualitas ibu seperti
apa yang mereka miliki. Orang tua yang sedang menantikan bayi berkeinginan
untuk menjadi orang tua yang hangat, penuh cinta dan dekat dengan anaknya.
Mereka
menciba untuk mengantisipasi perubahan- perubahan yang mungkin terjadi pada kehidupannya akibat
kehadiran sang anak dan membayangkan apakah mereka bisa tahan terhadap
kebisingan , kekacauan, dan kurangnya kebebasan. Mereka mempertanyakan
kemampuan mereka untuk membagi kasih mereka kepada anak- nak lain dan kepada
anak yang belum dilahirkan ini.
Hubungan
ibu dan anak terus berlangsung sepanjang masa hamil sebagi suatu proses
perkembangan .tiga fase dalam pola perkembangn menjadi jelas.
a.
Pada fase 1
Wanita
menerima fakta biologis kehamilan.Ia harus mampu mengatakan, ‘saya hamil’ dan
menyatukan anak tersebut ke dalam tubuh dan citra dirinya.
Pada
awal kehamulan pusat pikiran ibu berfokus
pada dirinya sendiri dan pada realitas awal kehamilan itu sendiri. Anak
dipandang sebagai bagian dari seseorang dan kebanyakan wanita berfikir bahwa
janinnya tidak nyata selama awal periode masa hamil (lumley,1980,1982).
b.
Pada fase ke 2
Ibu
menerima janin yang bertumbuh sebagi sesuatu yang terpisah dari dirinya dan
sebagi seorang yang perlu dirawat .ia sekarang dapat berkata , “ saya akan
memiliki bayi”.
Selama
trimester ke dua , biasanya pada bulan kelima , kesedaran akan adanya anak
sebagi makhluk yang terpisah semakin nyata. Kemempuan untuk membedakan anak
dari diri wanita itu sendiri ialah awl hubungan anak dan ibu, yang melibatkan
bukan saja perawatan , tetapi juga tanggung jawab. Wanita yang merencanakan
kehamilannya akan merasa senang dengan kehamilannya dan ikatannya dengan
anaknya terbentuk terlebih dahulu daripada ikatan anaknya dengan wanita lain.
Dengan
menerima realitas seorang anak ( mendengar denyut jantung dan merasakan gerakan
anak) dan perasaan sejahtera yang utuh. Anak impian menjadi begitu sangat
berharga di mata sang ibu. Ia lbih memusatkan perhatiannya pada anak yang
dikandungnya, suaminya merasa diacuhkan dan anak- anak yang lain menuntut lebih
banyak sebagai upaya untuk enerik kembali perhatian ibu kepada mereka.
c.
Pada fase ke -3
Ibu mulai dengan realisis
mempersiapkan diri untuk melahirkan dan mengasuh anaknya. Ia akan mengatakan “
saya akan menjadi ibu” dan ia muai mendefinisikan sifat- sifat anak tersebut.
Walaupun hanya ibu yang merasakan
anak yang berada dalam kandungan, kedua orang tua dan saudara- saudara percaya
anak yang berada dalam kandungan berespon dengan cara yang sangat pribadi dan
individual. Anggota keluarga dapat berinteraksi sebanyak- banyaknya dengan anak
di dalam kandungan ini , misalnya dengan
berbicara kepada janin dan mengelus perut ibu, terutama ketika janin
berubah posisi.
Ikatan diperkuat melalui penggunaan respon sensual atau
kemampuan oleh kedua pasangan dalam
melakukan interaksi orang tua anak. Respon sensual dan kemmpan yang dipakai
dalam komunikasi antara orang tua dan anak meliputi hal- hal berikut:
a.
Sentuhan
Sentuhan atau indra peraba , dipakai secara
ekstensif oleh orang tua dan pengasuh
lain sebagai suatu sarana untuk mengenali bayi baru lahir. Banyak ibu yang
segera ingin meraih anaknya saat ia baru dilahrkan dan tali pusatnya dipotong.
Mereka mengangkat bayi ke dada , merangkulnya ke dalam pelukan , dan mengayun-
ayunnya. Cara- cara ibu mendekatkan diri dengan anak melalui sentuhan antara
lain:
1)
Begitu anak dekat
dengan ibunya, mereka memulai proses eksplorasi dengan ujung jarinya , salah
satu daerah tubuh yang paling sensitif.
2)
Kemudian pengasuh memakai telapak tangannya untuk
menenelus badan bayi dan akhirnya memeluk dengan lengannya.
3)
Gerakan- gerakan lembut dipaki untuk menenangkan bayi
4)
Ibu menepuk atau mengusap lembut bayi mereka di punggung
setelah menyusuinya , lalu bayi juga aka menepuk- nepuk dada ibunya sewaktu
menyusu.
b.
Kontak mata
Kesenangan untuk melakukan kontak mata
diperlihatkan berulang- ulang. Beberapa ibu berkata , begitu bayinya bisa
memandang mereka, mereka merasa lebih dekat dengan bayinya. Orang tua
menghabiskan waktu yang lama untuk membuat bayinya membuka matanya dan melihat
mereka.
Ketika bayi baryy lahir mampu secara fungsional
mempertahankan kontak mata, oranmg tua dan bayi akan menggunakan lebih banyak
waktu untuk saling memandang, seringkali dalam posisi bertatapan. En Face ( bertatap muka) adalah suatu
posisi dimana kedua wajah terpisah kira- kira 20 cm pada bidang pandang yang
sama. Bayi baru lahir dapat diletakan cukup dekat untuk dapat melihat wajah orangtuanya.
Pemberian obat mata dapat ditunda sampai bayi dan orangtua selesi meakukan
upacara.
c.
Suara
Saling mendengar dan merespon suara antara
orangtua dan bayinya juga penting. Orang
tua menunggu tangisan bayinya dengan perasaan cemas. Saat sura yang membuat mereka yakin bayinya dalam
keadaan sehat terdengar , mereka mulai melakukan tindakan untuk menghibur.
Ketika ornag ntua berbicara dengan menggunakan nada tiinggi , bati menjadi
tenang dan beralih ke mereka.
d.
Aroma
Perilaku lain lain yang terjalin antara bayi
dengan orang tua yaitu respon trhadap aroma
atu bau masing- masing . Ibu berkomentar terhadap aroma bayi mereka ketika baru lahir dan mengetahui bahwa setiap anak memiliki
aroma yang unik. Bayi belajar dengan cepat untuk membedakan susu ibunya.
e.
Entraiment
Bayi baru lahir bergerak sesuai dengan struktur
pembicaraan orang dewasa. Mereka menggoyang tangan, mengangkkat kepala,menendang- nendang kaki , seperti berdansa mengikuti nada
suara orangtuanya. Hal ini berarti telah mengembangkan irama muncul akibat
kebiasaan jauh sebelum ia mampu berkomunikasi dengan kata – kata. Entrainment
terjadi saat anak mulai berbicara. Irama in juga berfungsi sebagai umpa balik
positif kepada orangtua dan menegakn suatu pola komunikasi efektif yang
positif.
f.
Bioritme
Anak yang baru lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya
, misalnya pada denyut jantung. Setelah lahir, bayi yang menangis dapat
ditenangkan dan dipeluk dengan posisi yang sedemikian sehinggga ia bisa
endengar denyut jantungnga ibunya atau
mendengar suara denyut jantung yang direkam. Salah satu tugas bayi baru lahir
adalah membebtuk ritme personal ( bioritme). Orangtua dapat membantu proses ini
dengan memberi kasih sayang yang konsisten dengan memanfaatkan waktu bayi saat
mengmbangkan perilaku yang responif. Hal ini meningkatkan reaksi sosial dan
kesempatan bayi untuk belajar. Semakin cepat orangtua menjadi kompeten dalam aktivitas perawatan anak, semakin cepat
energi psikologis mereka dapat disalurkan untuk mengamati komunikasi bayi
mereka.
Lebih banyak riset tentang ibu dan bayi dari kelompok budaya yang berbeda diperlukan untuk membantu perawat dalam
memahami pola komunikasi antara orangtua dengan anaknya sehingga pengkajian
serta intervensi yang tepat budaya bisa dilakukan untuk mendukung proses
ikatan.
Keibuan itu bersangkutan dengan
relasi ibu dengan anaknya, sebagai kesatuan fisiologis, psikis dan sosial.
Relasi tersebut dimulai sejak si janin ada dalam kandungan ibunya, dan
dilanjutkan dengan proses proses fisiologis berupa masa hamil, kelahiran,
periode menyusui dan memelihara si upik atau sibuyung. Semua fungsi fisiologis
tersebut senantiasa dibarengi dengan komponen komponen fisiologis.Namun secara
individual menujukkan adanya perbedaan, karena sifat – sifat kepribadian setiap
individu wanita berbeda.
Pengalaman-pengalaman sebagai
seorang ibu tersebut menumbuhkan tugas-tugas kewajiban serta reaksi-reaksi
emosional yang khas, baik yang bersifat positif (umpama kebahagian), maupun
yang bersifat negatif, misalnya kecemasan dan ketakutan tertentu. Sifat-sifat
keibuan itu secara garis besar bisa digolongkan dalam dua ide, yaitu:
a.
Kualitas tertentu dari karakter dan keperibadian wanita yang
bersangkutan.
b.
Gejala emosional pada wanita tersebut, yang bersumber pada
ketidak berdayaan bayi dan anak, sebab bayi atau anak selalu bergantung dan
membutuhkan pertolongan serta pemeliharaan, terutama dari ibunya.
Sifat-sifat keibuan yang unggul itu
dimiliki oleh para wanita yang feminin sifatnya, yang memiliki keseimbangan
antara tendansi-tendansi narsisme yang sehat dan sangat mendukung harga dirinya,
dengan tendensi-tendansi masokhisme (bnd. Semakin terseksi atau menderita
tetapi semakin mencintai), sehingga wanita tersebut bersedia berkorban diri dan
mencintai anak keturunannya. Keinginan yang kuat (narsistis) dari wanita
untuk dicintai oleh kekasih atau suaminya itu kini mengalami proses metamorfose
atau perubahan bentuk, yaitu ditransformasikan dalam bentuk dorongan untuk
mencintai anaknya. Dalam hal ini keinginan narsistis itu berubah menjadi wujud
cinta-kasih wanita tersebut sebagai ibu terhadap anaknya.
Cinta-kasih ibu ini sering dibarengi
oleh perasaan dedikasi (kebaktian, membaktikan diri) pada anaknya dan
pengorbanan sebesar-besarnya.Pada tipe wanita yang barsifat sangat narsistis,
intensitas kasih-sayangnya terhadap anak-anaknya menjadi semakin berkurang
dengan semakin besar serta makin dewasanya anak-anaknya, dan tidak banyak
memerlukan lagi pertolongan serta rawatan ibunya.Komponen-komponen masokhistis
pada sifat keibuan tadi diekspresikan dalam bentuk kesediaan untuk berkorban
diri demi kebahagiaan anaknya, tanpa meminta balas-jasa bagi segala jerih
payahnya.Oleh kasih-sayangnnya yang tiada terbatas besarnya terhadap
anak-anaknya.Ibu tersebut bersedia menanggung segala macam duka-derita, kalau
saja semua pengorbanan dan kesenduannya itu bisa menumbuhkan (menyebabkan
timbulnya) kebahagiaan, keselamatan dan kelangsungan hidup anaknya.
Dengan segala upaya ibu tersebut
akan berusaha melindungi anaknya dari segala macam mara bahaya yang bersifat
lahiriah maupun batiniah, memberi makan yang cukup. Juga memberikan arena
bermain yang teduh dan aman guna bereksplorasi bagi anaknya, agar anaknya bisa
mengembangkan diri.Semua kegiatan dalam bentuk menyusui, memberi makan,
memberikan perlindungan, serta kesediaan membela anaknya itu diudukung kuat
oleh dorongan-dorongan instiktif dan filogenetis (perkembangan dari
jenis tanaman atau binatang selama berabad-abad).Intrinsik keibuan itu
handaknya dibedakan dengan cinta-kasih keibuan.Cinta-kasih keibuan yang semula
bersifat istinktif alami atau kodrati, dalam perkembangannya kemudian banyak
diubah dan dikondisikan oleh peristiwa-peristiwa psikologis dan pengalaman yang
individual ataupun universal.Sehingga cinta-kasih keibuan tadi lambat laun
sifatnya lebih sosio-kultural.
Intrinsik keibuan itu mempunyai
sumber-sumber utama pada komponen khemis bilogis yang tumbuh secara alami,
berbareng dengan eksistensi janin yang dikandungnya.Bahkan dorongan instinktif
ini sering juga sudah timbul sejak masa gadis.Instink-instink alamiah ini tidak
nampak jelas dalam masyarakat manusia yang berbudaya, dan sering terpendam di
bawah kepribadian individual, serta pengaruh lingkungan, terpendam di bawah
semua kehidupan psikis manusia.
Ciri utama instink wanita ini ialah
: kelembutan (tenderness). Semua bentuk tindakan dan sensualitas seksual yang
cukup sehat, di kemudian hari akan diwujudkan (ditranformasikan) dalam bentuk
kasih sayang pada anaknya; yaitu merupakan bentuk emosi yang khas terhadap
keturunannya. Selanjutnya transformasi itu pada umumnya akan diwujudkan dalam
upaya membela dan melindungi secara mati-matian terhadap anaknya dari segala
macam mara bahaya. Kondisi fisiologis atau jasmaniah seorang wanita ketika
mengandung ibunya, serta ketidak-berdayaan sang bayi yang menuntut perlindungan
dan pertolongan dari ibunya, kedua hal ini menggugah secara aktual pola-pola
instink pada pribadi ibu tersebut untuk melindungi anaknya,yang sebenarnya
sudah ada secara laten sejak masa gadis.
Tidak dapat disangkal bahwa
aktivitas yang didorong oleh komponen instinktual ini banyak berkaitan dengan
fungsi reproduksi.Karakter dan intensitas dari impuls-impuls instinktual tadi
berbeda pada setiap individu; yaitu bergantung sekali pada perbedaan konstitusi
seluruh kepribadian. Pada sisi yang lain seorang anak cenderung lebih dekat
dengan ibunya, daripada dengan ayahnya, karena seorang ibu lebih peka terhadap
sifat dan sikap anak. Seorang ibu juga memilki waktu yang relative lebih banyak
untuk bersama dengan anaknya ketimbang seorang ayah yang tugasnya difokuskan
pada pencarian nafkah.Relasi antara ibu dan anak bisa terjalin dengan baik
apabila adanya pengertian dan pemahaman ibu terhadap sikap-sikap yang dimiliki
anaknya.Komunikasi juga merupakan faktor penting dalam terwujudnya relasi yang
sehat tersebut.Dan tidak kalah penting adalah adanya waktu yang cukup untuk
bersama, sehubunga dengan era globalisasi sekarang dengan adanya emansipasi
wanita dengan pemahaman wanita lebih banyak berada di luar rumah untuk urusan
karier.
Berikut adalah contoh kasus hubungan
ibu dan anak yang kyrang baik. L Anak lelaki pertama saya, ia selalu bikin
masalah atau keributan (trouble) di rumah. Kadang kala ketika ia merasa jengkel
dengan alasan yang kurang jelas, ia tiba-tiba akan memutuskan telepon, atau
menyembunyikan modem komputer. Padahal saya sangat memerlukan data komputer dan
telepon untuk kebutuhan urusan dagang.Saya pedagang hasil bumi, sudah tujuh
tahun menjanda karena ayah L meninggal dunia.Anak itu aneh sekali, kamarnya
selalu terkunci, sering mengurung diri di kamar berjam-jam, tanpa komunikasi.
Sampai umur segitu dia belum mandiri, masih tergantung pada saya, dan kalau
saya suruh bantu dagang, dia kelihatan malas-malasan, tidak seperti adik-
adiknya. Apa dia sakit jiwa, ya," demikian J (60), ibu dari enam
anak.
Dari dua ungkapan “tidak seperti
adik-adiknya dan “sakit jiwa” kita dapat merasakan adanya landasan relasi
ibu-anak yang kurang sehat karena dipenuhi oleh sikap negatif, curiga, bahkan
kebencian satu sama lain, yang berkembang dari hari ke hari. Tuduhan demi
tuduhan dari pihak ibu, dan reaksi balasan-balasan yang sifatnya destruktif
memiliki makna agresivitas terselubung.Kadar basic trust (kepercayaan
dasar) yang seyogianya melandasi relasi ibu-anak sudah terkikis.Kondisi relasi
yang semacam ini mungkin saja terbangun karena kekecewaan-kekecewaan, perasaan
gagal, serta pengalaman traumatik yang dialami baik ibu dan anak laki-lakinya.
Namun, tampaknya kasih ibu belum
hilang, bahkan tidak akan pupus begitu saja, karena dengan menyertai anak
tersebut mencari pertolongan psikologik, merupakan pertanda masih tersisa kasih
ibu yang dalam, yang selama ini terselubung oleh omelan-omelan serta cercaan
ketidakpuasan akan perilaku anakya. Ibu menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang
beres dalam relasinya dengan anak laki-lakinya. Pemahaman dan pengertian
merupakan penyertaan rasa kasih yang sangat diperlukan dalam menjalin relasi
ibu-anak yang sehat.Artinya, seorang ibu seyogianya menyadari bahwa setiap anak
membawa talenta yang individual. Menghargai talenta individual anak akan
membuat ibu tidak tercekam dalam penilaian negatif terhadap anak tertentu dan
positif terhadap anak yang lain. Karena hal itu akan mengobarkan iklim
persaingan yang tidak sehat di antara anak-anaknya. Dengan penghargaan akan
talenta anak, peluang anak untuk mengatasi persaingan antar-saudara akan
menjadi lebih besar. Kecuali akan terjalin relasi yang nyaman di antara
anak-anak dan ibu, anak pun tidak akan merasa tersisih, terkucilkan, dan
terlecehkan keberadaannya. Dengan kasih ibu yang tidak akan pernah sirna, maka
dapat diprediksi bahwa perbaikan relasi akan efektif bila upaya perbaikan
relasi dimulai dari pihak ibu.
Dari pemaparan tersebut dapat kita
ambil benang merah bahwa masalah-masalah penting yang harus dihadapi wanita
dalam melaksanakan fungsi reproduksi itu dimulai dengan kehamilan dan kelahiran
bayi, sampai pada pemeliharaan anak; salah satu kesulitan pokok dalam
pelaksanaan tugas ialah: Berkonpliknya kepentingan spesies (demi
melenggangkan spesies manusia). Maka tugas paling berat bagi ibu muda tersebut
ialah: menciptakan unitas atau kesatuan yang harmonis di antara diri sendiri
dengan anaknya. Dengan kata lain, ibu tersebut harus mampu “memanunggalkan
diri” atau mengidentifikasikan diri secara selaras dengan bayi dengan anaknya.
Jika ibu tersebut mengapdikan diri sepenuhnya pada tugas-tugas memelihara
spesies manusia secara ekslusif, maka pasti dia akan kehilangan
individualitasnya. Oleh karena itu, pada zaman kebudayaan modern sekarang,
wanita lebih leluasa untuk mengadakan kompromi di antara melaksanakan fungsi
keibuannya dengan pengembangan EGO sendiri.Sehingga dia lebih bebas dalam
memuaskan kebutuhan-kebutuhan bayinya serta lebih giat mengembangkan interest
dan kepribadian sendiri. Kompromi tersebut tercapai oleh adanya kenyataan,
bahwa fungsi dirinya itu tidak melulu sebagai pengembang speciesnya saja; akan
tetapi feminitasnya baru bisa berkembang dalam satu konteks cultural yang
memberikan kebebasan pada dirinya untuk memekarkan kepribadiaannya (sebagai ibu
dan sebagai pribadi atau individu).
Tugas-tugas keibuaan untuk mengabdi
pada proses pelestarian species itu berlangsung sejajar dengan usia serta
perkembangan anaknya, misalnya saja semua kegiatan ibu pada periode pertama
dari bayinya akan terpusat pada pemeliharaan jasmani bayinya, khususnya pada
kegiatan menyusui. Pada saat tersebut, dorongan untuk mempertahankan unitas
dengan bayinya ternyata sangat kuat, dan usaha untuk melindungi bayinya
mencapai titik kulminasi. Tugas selanjutnya dari ibu ialah: mendidik anaknya.
Sebab di samping pemeliharaan fisik, kini ia harus melibatkan diri dalam
menjamin kesejahteraan psikis anaknya, agar anaknya bisa mengadakan adaptasi
terhadap lingkungan sosial. Ibu harus terus menerus melatih anaknya, agar anak
mampu mengendalikan instingknya, untuk bisa menjadi manusia yang beradab sebab,
jika si anak terlalu “di loloskan” atau dibiarkan lepas bebas serta dikuasai
oleh dorongan-dorangan instinktifnya yang primitifnya maka ia bisa menjadi
liar, tidak terkendali dan tidak berdisiplin. Namun sebaliknya apabila ibu tadi
terlalu banyak melarang anaknya dengan macam-macam tabu dan pantangan, maka
oleh inhibisi-inhibisi tersebut mungkin akan terhambat perkembangan si anaknya
atau pada kasus lain anak lalu mengembangkan pola yang neorotis. Memang
tidaklah mudah mengasuh dan mendidik anak. Bahkan ilmu pengetahuan modern pada
zaman sekarang tidak akanmampu memberikan resep-resep instan atau ampuh untuk
mempersiapkan ibu-ibu mudah menjadi pengasuh dan pendidik yang sempurna.
Dalam proses
perubahan seorang wanita menajdi sesosok ibu tentu banyak faktor-faktor yang
ikut berpengaruh sehingga ibu itu mengalami perubahan dalam psikologinya,
perubahan tersebut anatara lain :
1.
Hadirnya anak dalam suatu keluarga
2.
Lingkungan keluarga
3.
Pertumbuhan dan perkembangan anak
4.
Dukungan suami
F.
Masalah-masalah Psikologi yang Sering Terjadi
Masuknya satu
anggota keluarga baru dalam seuatu rumah tangga akan menimbulkan stres dan juga
dapat mempengaruhi psikologi ibu, bahwa ibu sekarang memiliki tanggung jawab
dan beban yang harus dilaksanakan dengan baik. Semakin berkembangnya usia anak
maka kebutuhan fisiknya juga akan semakin bertambah hal ini membuat para orang
tua menjadi lebih menyiapkan kebutuhan yang diperlukan oleh anaknya sehingga
hal tersebut memicu para orang tua agar lebih bekerja keras untuk mencukupi
segala hal yang diperlukan oleh anaknya.
Pemasalahan
yang sering terjadi yaitu apabila orang tua memiliki anak yang super aktif
(nakal) maka orang tua khusunya seorang ibu yang pertama kali berfikir apakah
ibu tersebut salah dalam mendidik dan mengarahkan anaknya, karena dalam
kehidupan sehari-hari seorang ibu lah yang paling banyak waktunya berdekatan
denga anak dari pada ayahnya, hal tersebut tetntunya sangat mengganggu
psikologi ibu.
Ada juga masalah-masalah lain
semisal yang terjadi pada keluarga, yaitu adanya Ibu
Tiri dan Ibu Angkat.
1.
Ibu Tiri
Salah satu sebab, anak-anak itu
menjadi piatu; yaitu karena ditinggal pergi oleh ibunya; atau ibunya meninggal
dunia. Kemudian, kedudukan ibu yang melahirkan anak tersebut ditempati oleh
wanita lain seiring pernikahan ayahnya. Secara otomatis wanita pengganti,
memiliki otoritas penuh dalam menjalankan semua hak dan kewajibannya
sebagaimana ibu kandung si anak selama hidup bersama.Wanita pengganti tadi
menjadi istri baru ayahnya atau hidup berdiam-bersama dengan ayah dari anak
tersebut.
Pada masa ini, ada beracam-macam
ceritera dan legenda tentang ibu tiri yang ganas-jahat kita jumpai pada hampir
setiap bangsa di dunia.Critera-ceritera itu memberikan gambaran tentang
penderitaan dan kesengsaraan yang harus dialami oleh anak tiri, serta
penampilan kekejaman ibu tiri dalam menyiksa dan menyakiti anak tirinya.Bahkan
tidak jarang ibu tiri ini berusaha dengan segala macam daya dan akal untuk
menyingkirkan dan membunuh anak tirinya.
Maka perumpamaan yang menyatakan
bahwa ibu tiri itu suka “ menggodok anak tirinya dalam kuali panjang “ yang
sangat populer di tengah masyarakat kita, memang mendekati realitas nyata. Hal
ini menujukkan bahwa dalam kenyataanya, ibu tiri itu sering menyebabkan azab
sengsara kepada anak-anak tirinya.Motif utama semua tingkat keganasan ibu tiri
ini terutama didasari oleh iri hati dan dengki. Misalnya ibu tiri tersebut sama
sekali tidak menghendaki suaminya memberikan kasih-sayang kepada anaknya
sendiri. Sebab ia ingin memonopoli suaminya .Ibu tiri itu selalu berusaha
dengan cara-cara yang licik untuk menyingkirkan dan menyisihkan anak gadis
tirinya; dan selanjutnya mengangkangi semua hak dan preorogatif yang menjadi
milik anak tirinya untuk diri sendiri.
Kita telah memahami, bahwa sikap
wanita terhadap anak-anaknya hingga pada usia remaja sengat besar mempengaruhi
perkembangan emosi dan fantasi anak terhadap pengasuhnya. Bahkan pada masa
perkembangan tersebut, anak-anak sering menirikan perilaku ibu tiri baik itu
secara sadar ataupun tidak sadar menggunakan gaya masokhistis sebagai anak
tiri; sedang kawan atau kakaknya memerankan fungsi ibu tiri yang kejam. Ada
pula gadis-gadis cilik yang suka bermain-main sebagai ibu tiri yang ganas
terhadap adik-adiknya atau terhadap bonekanya, karena iyaa marah dan membenci
ibunya. Dari hal ini dapat kita lihat, apakah seorang wanita itu kelak menjadi
seorang ibu tiri yang baik atau menjadi ibu tiri yang ganas, tidak hanya
tergantung pada konstitusi psikis wanita itu sendiri, akan tetapi juga dipengaruhi
oleh semua faktor lingkungan sosialnya. Karena itu ibu tiri bukan satu fenomena
yang terisolasi atau berdiri sendiri akan tetapi gejala ibu tiri itu hendaknya
difahami secara psikologis dalam relasinya dengan lingkungan dan keluarganya;
yaitu dengan ayah, nenek-kakek, ibu, atau ibunya yang sudah meninggal,
kakak-kakak, adik dan lain sebagainya.
Pada sisi yang lain ketika ibu tiri
diposisikan berperilaku negatif ternyata banyak juga wanita memposisikan
dirinya baik secara sadar atau tidak mencari calon suami yang telah
ditinggalkan isteri sbelumnya. Ada wanita-wanita yang selalu berminat pada pria
yang sudah kawin saja terutama pada pria yang sudah mapan atau lebih mapan.
Jika keinginan itu terwujut, si wanita akan merasa senang sekali dengan catatan
dia berpokus pada kesenangannya sendiri. Ada pula wanita yang didorong oleh
motivasi-motivasi egoistis yang selalu cenderung untuk merebut suami orang lain
guna menunjukkan kelebihan dirinya, misalnya dia merasa lebih cantik, lebih
pintar, lebih pandai bermain seks dan lain-lain kepada dunia luar. Adapula tipe
wanita yang sangat berminat pada duda-duda yang mempunyai anak-anak piatu,
sebab didorong oleh perasaan iba.Biasanya wanita-wanita sedemikian ini pada
mulanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.Misalnya, karena wanita itu tidak
mampu melahirkan seorang bayi sebab mandul.Oleh karena ingin diperistri oleh
seorang duda dari kelas menengah, sehingga status sosial wanita tersebut bisa
terangkat keatas.
2.
Ibu Angkat
Ibu angkat adalah seorang wanita
yang mengadopsi anak (mengambil anak) baik satu atau lebih dikenal atau tidak
orang tua anak tersebut karena didasari oleh keinginan memiliki anak. Secara
umum keinginan seorang wanita untuk menjadi ibu (ibu angkat) tidak dapat
terkabul karena ia mandul dan tidak bisa melahirkan seorang bayi. Tetapi
sebelumnya adalah lebih baik bila kita melihat kebelakang kenapa
wanita tersebut mengangkat beberapa orang anak. Atau apakah sebabnya sampai
wanita ini tidak bisa melahirkan seorang anak ? Ada beberapa alasan yang
dapat kita pertimbangkan antara lain:
a) Ketakutan sendiri untuk menjalani
fungsi-fungsi biologisnya.
b) Mau mengeksploitir
kepuasan-kepuasan seksual saja, tanpa bersedia menanggung resiko punya anak.
c) Tipe wanita anrogynus yang
mengingkari tugas-tugas reproduktif dan ingin memiliki seorang bayi menurut
konsepsi dan fantasi sendiri.
d) Kecenderungan-kecenderungan
homoseksualitas atau lesbian.
e) Fantasi-fantasi parthenogenetis
yang ingin melahirkan seorang bayi tanpa pertolongan atau lantaran seorang pria.
f) Ketegangan-ketegangan batin yang
neurotis sifatnya; dan lain-lain. Semua alasan tersebut di atas dapat
memberikan dorongan kepada ibu-ibu steril untuk melakukan adopsi terhadap
seorang bayi atau seorang anak.
Pada pihak lain, walaupun seorang
wanita memiliki kehidupan psikis dengan sifat-sifat maternal sejati, namun ada
kalanya oleh sesuatu hal dapat menjadi steril dan tidak dapat melahirkan anak
sendiri. Hal ini diistilahkan dengan mandul yang sering sifatnya menjadi
tragis.Wanita sipenderita merasakan kegetiran hati bahkan tidak jarang menjadi
frustasi yang tak terpecahkan.Tetapi apabila wanita tersebut siap dan mampu
mengalihkan mengkompensasi dambaan melahirkan anak sendiri jalan paling ringkas
ditempuhnya dengan mengadopsi atau mengangkat seorang anak.Pada sisi ini ibu
berperan karena didasari oleh dambaan memiliki anak dalam bentuk pelindung anak
yakni dengan memberikan perlindungan, perawatan, dan kasih sayang yang tulus
pada anak tersebut. Wanita ini akan menganggap anak tersebut sebagai subtitut
dari anak kandung sendiri. Maka seorang ibu angkat itu benar-benar akan bisa
menempati kedudukannya sebagai seorang ibu kandung dengan penuh kasih sayang
dan sifat-sifat maternal, yang bisa menerima dengan hati ikhlas walau kondisi
fisik steril. Si wanita akan dapat mengembangkan kehidupan emosionalnya sesuai
dengan kondisi anak-anaknya. Apabila ia mampu mengembangkan sifat-sifat
feminin-masokhitis maternal dirinya dengan sendirinya ia akan dapat dan
bersedia untuk berkorban-diri, serta mengapdikan diri.
Reaksi psikis seorang anak angkat
ini terutama sekali bukan bergantung pada faktor asalnya,dan saat ia dilahirkan
oleh ibunya sendiri. Akan tetapi justru banyak bergantung pada kondisi
milieunya yang sekarang; antara lain berupa kondisi finansial, kondisi
intelektual,dan norma-norma etis yang dianut oleh ibu dan ayah angkat tadi.
Namun faktor paling penting ialah; kondisi kehidupa psikis ibu angkatnya.
Sebab,sejak anak itu diangkat oleh wanita tersebut, pengaruh wanita inilah
merupakan faktor tunggal yang akan membentuk ciri-ciri-fisik dalam kondisi
psikis anak angkat tersebut.
Untuk memahami ibu angkat tersebut
sebagai idividu ataupun sebagai tipe Wanita, marilah kita pelajari dua faktor
yang terdapat pada wanita tersebut, yaitu:
1) Kapasitas-kapasitas
keibuan/maternal wanita ini dalam relasinya dengan anak angkatnya.
2) Motivasi-motivasi tertentu yang
mendorong wanita tersebut mengakat seorang bayi atau anak seorang wanita lain
baik sebelumnya dikenal atau tidak.
Mengenai motivasi yang menjadi
pendorong bagi upaya adopsi itu juga sangat bervariasi, sebanyak pikiran dan
perasaan manusia. Misalnya saja, seorang perawan tua yang merasa terpaksa
memungut seorang anak, karena anak tersaebut membutuhkan seorang ibu-pengganti
akan mempunyai alasan yang berbeda dengan seorang isteri yang mandul namun
ingin melaksanakan fungsi keibuannya secara instinktif dengan memungut seoarang
bayi. Motivasi seorang bibi yang harus mengadopsi kemenakannya, karena ia
adalah satu-satunya keluarga yang masih ada, akan berbeda dengan motivasi
seorang wanita kaya namun tidak beranak, dan ingin memungut anak sebanyak
mungkin untuk menunjukkan martabat kekayaannya; dan saeterusnya. Memang,
proporsi paling besar(jumlah paling banyak) keluarga yang memungut anak ialah :
pasangan-pasangan yang kawin, namun tetap steril keadaanya. Oleh karena itu
“psikologi dari ibu-ibu angkat” ini sebagian besar oleh : Motif-motif
psikologis kemandulan atau sterilitasnya, dan reaksi psikisnya terhadap
kemandulan dirinya. Motif-motif psikologis itu antara lain:
1) Kecemasan dan ketakutan yang luar
biasa besarnya, tapi sering tidak disadari terhadap fungsi reproduktif atau
fungsi melahirkan anak. Kecemasan ini lebih dominan daripada keinginan menjadi
seorang ibu.
2) Sifat yang sangat infantil,
sehingga secra tidak sadar ia merasa tidak mampu memikul tanggung jawab sebagai
seorang ibu.
3) Secara emosional dia terlalu
dicekam oleh interest-interest dan minat diluar tugas keibuannya; misalnya
sangat aktif dibidang ilmu pengetahuan, seni, politik,sosial, dan lain
sebagainya.
4) Relasinya dengan suami dianggap
begitu indah-syahdu dan memuaskan sehinggan ia merasa takut akan terganggu oleh
kehadiran anak-anak mereka. Karena itu, wanita tadi ingin mempertahankan
status-quonya, yaitu tidak mau melahirkan bayi.
5) Wanita itu begitu cinta dan
menyayang suaminya, sehingga ia tidak sampai hati membebani suaminya dengan
tugas-tugas baru sebagai AYAH.
6) Peringatan dan larangan dari ibu
si wanita ketika ia masih gadis, kini masih saja jelas terngiang-ngiang sebagai
obsesi. Yaitu berupa larangan atrau peringatan yang menyatakan, bahwa hubungan
seksual itu adlah tabuh, dan perbuatan dosa.Sehingga wanita itu selalu dicekam
oleh perasaan-perasaan berdosa dan kecemasan batin apabila melakukan senggama dengan
suaminya. Peristiwa sedemikian ini bisa mengakibatkan: sterilitas dirinya.
7) Wanita yang bersangkutan dihinggapi
fantasi-fantasi neurotis; yaitu merasa bahwa kesucian dirinya dilanggaroleh
“perbuatan-perbuatan larangan dan dosa” sewaktu melakukan coitus dengan
suaminya. Ketegangan-ketegangan batin dan kecemasan yang timbul oleh karenanya
justru menstimulir kemandulannya.
8) Wanita yang sangat matriarkhal,
dominan, dan suka memerintah. Ia menganggap suaminya sebagai seorang “bayi”
yang harus dilindunginya; dan menganggap suaminya tidak kompeten untuk menjadi
” jantan pemacek”
9) Ada kutukan-kutukan herediter
tertentu, sehingga menyebabkan kemandulan dirinya.
10) Penyiksaan-diri (terhadap diri
sendiri) oleh sifat-sifat yang hypernarsistis, sehingga wanita yang
bersangkutan tidak mau mengakui kemandulannya. Dan dengan biaya serta korban
apapun juga ia ingin melahirkan seorang bayi; seklalipun dirinya tidak mampu
melakukan hal itu (ada semacam obsessi). Jika seorang wanita sudah
sungguh-sungguh berniat untuk mengangkat seorang anak pungut, dan ia mampu
mengatasi atau mengalahkan kesepuluh motif psikologis yang dituliskan diatas
serta motif-motif neurotis yang tidak disadari lainnya, maka pastilah ia akan
bisa menjadi seorang ibu angkat yang baik.
G. Pengelolaan Gangguan Psikologi
Secara Umum
Masalah –
masalah yang timbul dalam kehidupan wanita menjelang transisi menjadi orang tua tentu banyak dialamli oleh sebagian
wanita. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pendidikan atau pengetahuan tentang
persiapan untuk menjadi orang tua. Hal tersebut akan menjadikan atau
menimbulkan masalah. Misalnya yaitu gannjgguan psiokologis yang terjadi pada
wanita karena belum siap untuk menjadi orangtua. Jika dalam sebuah keluarga terjadi hal
tersebut maka ouranr yang harys berperan untuk membantu menenangkan atau
meyakinkan yaitu orang- orang terdekat seperti suami, ,orangtua, mertua, dan
saudara- saudaranya. Apabila hal yang dilakiukan tiak berhasil atau dirasa
kurang cukup maka bisa di bawa ke hahli psikologi agar mendapatkan pengarahan
tentang kesiapan untuk menjadi orang tua.
H. Peran Bidan dalam Pengelolaan
Gangguan Psikologi
Agar seorang
wanita memiliki kesiapan dalam prosesnya menjadi orang tua maka perlu adanya
bimbingan konseling atau penyuluhan dari tenaga kesehatan mengenai hal
tersebut, misalnya bidan. Bidan disini berperan untuk memberikan penyuluhan
kepada warga pada massa pranikan atau massa sebelum pernikahan dengan
memberikan materi tentang transisi menjadi orang tua, persiapan untuk menjadi
orang tua, dean hal- hal lain yang
terkait dengan kesiapan untuk menjadi orang tua. Hal ini dimaksudkan agar para
warga yang akan menjadi orang tua tidak salah dalam memberikan bimbingan dan
asuhan kepada para anak- anaknya. Sehingga para anak dapat memperoleh. Kebutuhan
yang semestinuya dan tiak keluar dari batas yang ditetapkan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Wanita adalah seorang perempuan
dewasa yang juga sifat keibuan. Bagi orang yang memiliki anak sifat-sifat
keibuaan itu akan semakin jelas dalam perannya sebagai ibu dari anak-anak dan
pendidik. Fungsi sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya bisa dipenuhi
dengan baik, bila ibu tersebut mampu menciptakan iklim psikis yang
gembira-bahagia dan bebas; sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak, dan
bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat, menyenangkan, serta penuh
kasih-sayang.
Bahwasanya ada banyak wanita yang
sangat menderita dan tidak bahagia dalam perkawinan, sebenarnya bukan
disebabkan oleh status perkawinan itu, akan tetapi disebabkan oleh: tidak siap
dan kurangnya kemampuan wanita tersebut memainkan beberapa peranan ganda yang
berbeda-beda dalam status perkawinan. Kemampuan tersebut tidak hanya diperlukan
dalam kondisi perkawinan saja, akan tetapi juga berlaku pada setiap kondisi
kehidupan manusia.
Pada dasarnya tugas seorang ibu
mencakup memelihara anak, mendidik serta mengasuh anak yang merupakan kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh seorang ibu.Dalam mesyarakat juga dikenal adanya
ibu tiri, di mana sudah menjadi imej bahwa seorang ibu tiri itu merupakan sosok
yang kejam, jahat dan bersikap tidak adil sehingga kebanyakan orang khususnya
anak-anak tidak menginginkan adanya ibu tiri.Selain dari ibu tiri ada juga yang
disebut dengan ibu angkat, yaitu seorang wanita yang tidak bisa melahirkan
seorang anak sehingga dia berkeinginan untuk mengangkat seorang anak dengan
mengadopsi.Hal ini dilakukan untuk menghadirkan seorang anak yang dapat
memberikan keceriaan dalam keluarga.
B. Saran
Sebagai
seorng wanita hendaknya kita mengetahui peran orang tu sejak dini dengan
mengikutin penyuluhan tentang persiapan menjadi orangtua, sehingga kita tidak
salah dalm memberikan asuhan terhadap anak kita kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar